PEMBUKA

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA..
SEMOGA APA YANG SAYA TULIS INI DAPAT BERMANFAAT BAGI ANDA..
SELAMAT MEMBACA

Senin, 13 Mei 2013

ETIKA BISNIS


BAB I
PENDAHULUAN
    1. Pendahuluan
Sejak dahulu kala bisnis – atau pada waktu itu masih terbatas pada “perdagangan” – menjadi sarana penting untuk mendekatkan negara-negara dan bahkan kebudayaan-kebudayaan yang berlain-lainan. Kalau dilihat dari perspektif sejarah, perdagangan merupakan faktor penting dalam pergaulan antara bangsa-bangsa. Bertentangan dengan ekspansi politik yang terus-menerus membawakan peperangan dan penderitaan bagi negara-negara bersangkutan, maka perdagangan justru sempat menyebarkan perdamaian dan persaudaraan. Sejarawan besar dari Skotlandia, William Robertson (1721-1793), menegaskan bahwa “perdagangan memperlunak dan memperhalus cara pergaulan manusia”.
Hubungan perdagangan dengan pengertian “asing” rupanya masih membekas dalam bahasa Indonesia, karena salah satu arti “dagang” adalah “orang dari negeri asing”. Dengan saran transportasi dan komunikasi yang kita miliki sekarang, bisnis internasional bertambah penting lagi. Berulang kali dapat kita kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi ekonomi: kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam “pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar ekonomi. Gejala globalisasi ekonomi ini berakibat positif maupun negatif.
Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.
BAB II
ISI
2.1. Norma-norma moral yang umum pada taraf internasional
Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Kami berpendapat bahwa pandangan yang menganggap norma-norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa norma-norma moral bersifat absolut atau tidak mutlak begitu saja. Jadi, pertanyaan yang tidak mudah itu harus bernuansa. Masalah teoritis yang serba kompleks ini kembali lagi pada taraf praktis dalam etika bisnis internaasional.
Menyesuaikan diri
Norma-norma moral yang penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda di berbagai tempat. Itulah kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini. Misalnya, norma-norma sopan santun dan bahkan norma-norma hukum di semua tempat tidak sama. Yang di satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa saja di tempat lain dianggap sangat tidak sopan.
Regorisme moral
Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut “rigorisme moral”, karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin menjadi kurang baik di tempat lain.
Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan regorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat di tempat lain. Namun para penganut rigorisme moral kurang memperhatikan bahwa situasi yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.
Imoralisme naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-norma etika. Kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan itu ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat norma-norma moral.
2.2 Kasus: bisnis dengan Afrika Selatan yang rasistis
Setelah kita mempelajari dua pandangan tentang peranan etika dalam bisnis internasional ini, perlu kita simpulkan bahwa tidak satu pun di antaranya bisa dipertahankan. Dalam pandangan “menyesuaikan diri” dapat kita hargai perhatian untuk peranan situasi. Situasi yang berbeda-beda memang mempengaruhi kualitas etis suatu perbuatan, tetapi tidak sampai menyingkirkan sifat umum dari norma-norma moral, seperti dipikirkan pandangan pertama ini. Pandangan kedua, rigorisme moral, terlalu ekstrem dalam menolak pengaruh situasi, sedangkan mereka benar dengan pendapat bahwa kita tidak meninggalkan norma-norma moral di rumah, biola kita berangkat bebisnis ke luar negeri. Norma-norma moral mempunyai sifat universal.
2.3 Masalah “dumping” dalam bisnis internasional
Salah satu topik yang jelas termasuk etika bisnis internasional adalah dumpin produk, karena praktek kurang etis ini secara khusus berlangsung dalam hubungan dengan negara lain. Yang dimaksudkan dengan dumping adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain dengan harga di bawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Dapat dimengerti bahwa yang merasa keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya para konsumen, melainkan para produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping dilakukan. Para konsumen justru merasa beruntung – sekurang-kurangnya dalam jangka pendek – karena dapat membeli produk dengan harga murah, sedangkan para produsen menderita kerugian, karena tidak sanggup menawarkan produk dengan harga semurah itu.
2.4 Aspek-aspek etis dari korporas multinasional
Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah korporasi multinasional, yang juga disebut korporasi transnasional. Yang dimaksudkan dengannya adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi, perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status korporasi multi nasional (KMN), tetapi perusahaan yang memilki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya. Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda-beda. Biasanya perusahaan-perusahaan di negara lain sekurang-kurangnya untuk sebagian dimiliki oleh orang setempat, sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis yang umum ditanggung oleh pimpinan perusahaan di negara asalnya. KMN ini untuk pertama kali muncul sekitar tahun 1950-an dan mengalami perkembangan pesat. Contoh KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, General Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony,Unilever yang memiliki kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan manusia.
Di bawah ini akan dibahas usulan De George tentang norma-norma etis yang terpenting bagi KMN.
  1. Koorporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung.
Dengan sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain selalu merupakan tindakan yang tidak etis. Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan tidak etis, bila KMN dengan tahu dan mau mengakibatkan kerugian bagi negara biarpun tidak dengan sengaja atau langsung- menurut keadilan kompensatoris ia wajib memberi ganti rugi.
  1. Koorporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi negara dimana mereka beroperasi.
Hampir semua kegiatan manusia mempunyai akibat jelek,bisnis tidak tekecuali. Norma kedua menuntut secara menyeluruh akibat- akibat baik melebihi akibat- akibat jelek. Norma ini tidak membatasi diri pada segi negatif, tapi memerintahkan sesuatu yang positif da ditegasakan lagi bahwa yang positif harus melebihi yang negatif.
  1. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada pembangunan negara dimana dia beroperasi.
KMN harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara berkmbang. KMN harus bersedia melakukan alih teknologi dan alih keahlian.
  1. Koorporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua karyawannya.
KMN harus memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di negara berkembang.
  1. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menantangnya.
KMN akan merugikan negara dimana ia beroperasi, jika ia tidak menghormati kebudayaan setempat.KMN harus menyesuaikan diri dengan nilai- nilai budaya stempat dan tidak memaksakan nilai-nilainya sendiri.
  1. Koorporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”
Setiap perusahaan multinasional harus membayar pajak menurut tarif yang telah ditentukan dalam suatu negara. KMN akan mendukung dibuatnya dan dilaksanakannnya peraturan internasional untuk menentukan pembayaran pajak oleh perusahaan- perusahaan internasional.
  1. Koorporsi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkn dan menegakkan “backgroud institutions” yang tepat.
Yang dimaksud “background institutions” adalah lembaga- lembaga yang mengatur serta memperkuat kegiatan ekonomi dan industri suatu negara.
  1. Negara yang memiliki mayoritas sham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
Norma 8 ini mengatakan bahwa tanggung jawab moral harus dipikul oleh pemilik mayoritas saham.
  1. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
Yang membangun pabrik- pabrik berisiko tinggi harus juga merundingka prosedur- prosedur keamanan bagi mereka yang menjalankan pabrik tersebut. KMN bertanggung jawab untuk membangun pabrik yang aman dan melatih serta membina secara sebaik mungkin mereka yang akan mengoperasikan pabrik itu.
  1. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, korporasi multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara yang belum berpengalaman.
Menurut norma ini prioritas harus diberikan kepada keamanan. Kalau mungkin, teknologi harus dirancang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi stempat, sehingga terjamin keamanan optimal.
Sepuluh norma tersebut bisa bermanfaat untuk menciptakan suatu kerangka moral bagi kegiatan- kegiatan KMN
2.5 Masalah korupsi pada taraf internasional
Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada konteks internasional.
2.6 Mengapa pemakaian uang suap bertentangan dengan etika?
Ada beberapa alasan mengapa mengetahui pemakaian uang suap bertentangn dengan etika.
Alasan pertama dan paling penting adalah bahwa praktek suap itu melanggar etika pasar. Denagan adanya praktek suap,daya – daya pasar dilumpuhkan dan para pesaing yang sedikit pun dapat mempengaruhi proses penjualan.
Alasan kedua mengapa praktek itu tidak etis adalah bahwa orang yang tidak berhak, mendapat imbalan juga.
Alasan ketiga, banyak kasus lain di mana uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan. Pembagian barang langka dengan menempuh praktek suap mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh orang yng tidak berhak menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak tidak kebagian.
Alasan keempat adalah bahwa praktek suap mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang memberi uang suap maupun orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa membukukkan uang suap itu seperti mestinya.
BAB III
PENUTUP
Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.

sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar