Kata Pengantar
Kata banyak orang Pemilu
tahun 2014 merupakan momentum strategis. Pada Pemilu kali kempat di era
Pasca-Soeharto ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakhiri dua periode
kepemimpinannya. Kursi yang ditinggalkannya kelak diisi pemenang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden 2014. Sementara itu kita tahu, bahwa kandidasi
siapa pengganti SBY amat tergantung pada hasil-hasil Pemilu Legislatif, yang
digelar sebelumnya.
Bisa benar apabila dikatakan bahwa Pemilu tahun 2014 akan lebih seru. Faktor pendorongnya bersumber dari ketersediaan elite politik, usai ditinggalkannya kursi kepresidenan oleh SBY-Boediono. Pemilu Legislatif tetap penting, mengingat ia sekadar sebagai antara demi meraih kursi yang lebih bergengsi. Dinamika politik Pemilu legislatif akan mendorong preferensi aktor politik untuk meraih kursi RI-1 kelak. Sementara itu sebaliknya, figur kandidat presiden dan wakil presiden juga akan menjadi faktor penentu (driven force) untuk Pemilu Legislatif. Saling keterpengaruhan antara Pileg dan Pilpres menjadikan Pemilu tahun 2014 lebih bergairah lagi. Ini ditinjau dari sisi peran keaktoran para elite politik kita nantinya.
Isi
Skenario Pemilu 2014
Namun yang pasti masih menjadi pertanyaan: bagaimana konstelasi politik nasional selama dan sesudah Pemilu tahun 2014? Apakah akan mampu memajukan kondisi demokrasi kita? Ataukah justru akan memundurkan atau sekadar jalan di tempat? Apa gambara kita terhadap Pemilu 2014? Saya menawarkan kemungkinan tiga skenario politik apa yang kira-kira bakal terjadi. Skenario ini didasarkan atas pemahaman umum tentang demokrasi yang kerap terjadi di banyak negara dalam masa-masa pra pematangan demokrasi.
Skenario I: "Demokrasi
Terkonsolidasi".
Asumsi dari skenario ini
menyatakan, Pemilu tahun 2014berjalan sukses. Kemajuan demokrasi ditentukan
partisipasi politik warga pemilih yang tinggi. Aktor politik di luar (non-state
actors) dan di dalam sektor negara (state actors) menjalin kekuatan dengan
kekuatan partikelir. Di samping itu berkah demokrasi akan mula dirasakan
hasilnya. Berkah ini memberi hikmah bahwa berpolitik itu juga bernegara.
Maksudnya, mereka harus memulai makna politik sebagai cara membangun rakyat,
bangsa, dan negara.
Target dari berkah itu adalah demokrasi pada akhirnya demi kemakmuran rakyat. Apalah arti demokrasi bila tak untuk diabdikan pada kepentingan yang luas. Apabila selama ini demokrasi terkutat pada sekadar "demokrasi prosedural", maka pasca-Pemilu 2014 keadaan berancak, meski belum tuntas benar, ke arah "demokrasi substansial". Empat kali Pemilu terakhir di era reformasi ini mematangkan sistem yang sudah terbangun.
Segenap aktor politik pun mulai matang dalam pemahaman umum dengan mengedepankan visi yang jelas. Demokrasi tak dimaknai sekadar mengisi posisi-posisi suprastruktur politik dan infrastruktur politik, namun berangsur dan mulai tampak hasilnya mereka menjadi politisi kerangka kenegarawanan (statemanships) segala. Sejak reformasi hingga kini, begitu banyak aktor yang keluar masuk dalam struktur kekuasaan. Dari hasil Pemilu ke hasil Pemilu berikutnya formasi kekuasaan berubah. Pengalaman ini memberi pelajaran bagi para politisi bahwa dalam praktik politik pun harus diikuti dengan pemahaman akan konsep kenegaraan.
Daya dukung dari skenario ini hasil-hasil Pemilu. Tampak di gedung-gedung parlemen pengambilan keputusan berjalan efektif. Tak seperti dalam kasus Century Gate atau BBM-gate, yang tampak hingar-bingar. Dalam kasus pertama tak berlanjut ke arah signifikan, demikian halnya dengan kasus yang kedua. Formasi elite pucuk pimpinan negara tak berubah, demikian halnya dengan tak jadi naiknya BBM, paling tidak hingga sekarang ini. Pengambilan keputusan lebih simpel, karena mungkin partai tak lebih dari kedua tangan di badan kita. Mereka ada yang gugur karena tak memenuhi ambang batas parlemen. Demikianlah.
Namun skenario ini bisa
terganjal oleh orientasi pragmatisme. Apalagi melihat kenyataan Pemilu tahun
2009 dan Pemilukada sepanjang 2009 hingga 2012 ini, yang kerap diwarnai politik
uang (money politics). Gejala membeli suara dari rakyat masih semerbak. Para
politisi memanfaatkan premis umum dalam Pemilu. Karena kebetulan kapasitas daya
beli rakyat sedang rendah akibat, misalnya BBM disesuaikan, sementara mereka
memiliki suara dalam Pemilu, bertemu dengan para politisi yang sebagian besar
di antaranya memiliki uang, padahal mereka tak memiliki banyak suara pemilih,
maka terjadilah transaksi jual-beli suara. Itulah praktik politik uang dalam Pemilu-Pemilu
kita selama ini. Para caleg membeli suara dari rakyat pemilih kita.
Cara membeli suara
dengan menyodorkan uang bisa berakibat fatal. Mereka yang terpilih karena uang,
sudah barang pasti akan berpikir agar bagaimana bisa mengembalikan modal yang telah
ditanamnya. Kalau politik dimaknai sebagai "investasi" ekonomi, maka
cara berpikirnya adalah agar bagaimana bisa membayar "bunga deviden"
yang telah ditanamnya. Maka sehari-hari yang dipikirkan dan akhirnya diterapkan
adalah pengembalian modal secepatnya. Semoga saja skenario ini tak terjadi pada
mulai Pemilu tahun 2014 yang akan datang.
Skenario II: "Lame Duck".
Asumsi dari skenario ini
menyatakan, proses Pemilu tak terlaksana dengan baik. Penyelenggara Pemilu tak
lebih event organizer (EO) yang amburadul dalam perencanaan dan pelaksanaannya.
Ini lebih parah dari Pemilu tahun 2009, seperti dalam pengelolaan daftar
pemilih sehingga perlu
perlunya dibentuk
Pansus, digelarnya Dewan Kehormatan untuk memeriksa, menyidangkan, dan memutus
perkara ketidakmampuan mereka, atau delegitimasi khalayak kepada KPU dan
Bawaslu.
Para aktor politik
menaruh syak wasangka terhadap keadaan. Mungkin tak akan memberantakkan seluruh
bangunan demokrasi yang selama ini berhasil dilakukan, namun secara kualitas
terjadi was wis wisu. Situasi gaduh (noisy), sebagaimana kelaziman dalam
karakter politik kita selama ini. Apa yang diputuskan dari gedung parlemen
nasional jadi perhatian, sementara para legislator merujuk pada
keadaan yang ada. Titik
masuknya mungkin dari daftar pemilih kembali. Mengulang pada Pemilu sebelumnya.
Tema yang diangkat karena amburadulnya pengelolaan daftar pemilih, antara
entitas bahan mentah dari pemerintah, entitas e-KTP, dipadukan secara tak
memadai dari hasil pemutakhiran yang dilakukan KPU.
Situasi politik kita
bagai burung yang patah satu sayapnya. Sayap pertama masih dapat digunakan
burung untuk terbang. Ini mengacu pada komitmen sejumlah aktor berbasis
korporasi dan kelompok partikelir yang terandalkan komitmennya, yakni kalangan
militer. Sementara sayap yang patah (lamce duck) mencermintkan kegaduhan
situasi politik yang digambarkan sekilas di atas. Pemilu akhirnya bisa digelar,
namun tingkat frustasi yang mendalam, yang menghinggapi mereka yang merasa
dirugikan, tak mampu ditampung oleh mekanisme hukum yang ada. Akhirnya adalah
situasi yang mirip pasca Pemilu 2009 dengan tambahan "tak enaknya untuk
memberontak" terhadap keadaan yang ada. Proses dan hasil-hasil Pemilu
dipertanyakan banyak pihak. Namun para politisi terkunci dalam situasi "stagflasi"
(stagnan dan inflasi) mekanisme dan prosedur hukum.
Namun skenario ini bakal
terganjal oleh perbaikan sistem yang selama ini dibangun. Apapun kondisinya,
sistem penyelenggaraan Pemilu kita makin baik, karena terbukti dari Pemilu ke
Pemilu di era reformasi ini. Kekurangannya tetap diakui, namun tak seluruh hal
terlihat buram. Di samping itu, penyelenggara Pemilu kita kini berlatar
belakang kepemiluan yang relatif baik. Mereka menjamin penyelenggaraan Pemilu
berbasis pengalaman dalam satu dekade terakhir. Yang tak kalah pentingnya,
orang mulai lelah dengan keadaan. Orang ingin mengedepankan kebaikan, lelah
dengan keadaan yang tampak seperti sekarang. Konflik di luar mekanisme yang
ditentukan tak lagi mendapat tempat. Moga demikian yang tak terjadi.
Skenario III: "Jalan di Tempat".
Diasumsikan demokrasi
kita sudah baik. Orang tak mengharapkan apa-apa dari demokrasi. Ini karena
kebanyakan rakyat sudah muak dengan keadaan. Sementara itu aktor politik di
gedung parlemen tak memiliki agenda yang menjanjikan, seperti penghilahatan
kebanyakan orang belakangan ini. Agenda negara berbanding terbalik dengan
agenda rakyat kebanyakan. Urusan negara tak simetris dengan urusan publik.
Demokrasi akan diperlihatkan sebagaimana sekarang ini. Dasarnya adalah
pesimisme publik terhadap keadaan.
Kinerja parlemen
biasa-biasa saja. Masih cenderung melanjutkan apa yang selama dilakukannya.
Sementara keputusan-keputusan politik tingkat strategis, maksudnya yang
memiliki efek tindal bagi kepentinggan rakyat banyak tak lahir dan tak banyak
diharapkan dari parlemen. Keadaan suprastruktur politik setali tiga uang. Nilai
kegunaan politik memang dipertanyakan, namun sebatas dari para partikelir yang
tak memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan. Agenda politik resmi tak
sebanding dengan harapan rakyat yang meninggi. Tapi orang ramai tak bisa juga
mendesakkan kepentingannya. Orang sudah lelah berdemokrasi dan bahkan
terdemontrasi, kecuali sekadar order entertainment politik alias unjuk rasa
bayaran. Itu pun sekadar untuk memenuhi kepantasan dalam demokrasi.
Daya dukung dari
skenario ini bersumber dari instrumen demokrasi yang tersedia. Sistem
penyelenggaraan Pemilu kita tak berubah. Kondisi masih sama dan sebanding
(concruency) dengan Pemilu tahun 2009. Undang-undang Pemilu Legislatif tak
menjanjikan harapan. Sekadar menghabiskan anggaran dan dibahas terlalu lama,
sementara perubahan signifikan tak tampak terlihat. Kalau sudah begini, apa
yang bisa diharapkan? Itu gambaran pesimisme melihat keadaan. Dan proyeksinya
akan terulang pada Pemilu tahun 2014 yang akan datang.
Pemilu tahun 2014
mungkin saja akan biasa-biasa saja. Sangat mungkian ia akan mendeformasi
konstelasi politik dalam bentuknya sekarang. Namun ia sekadar ritual demokrasi
yang tak bermakna. Tentu saja kata kuncinya pada tingkat dukungan masing-masing
kekuatan partai politik. Saya perkirakan dalam Pemilu parlemen bakal memutar
roda kekuasaan, atau apa yang menurut Gaetano Mosca disebut sebagai
"terjadinya sirkulasi elite kepemimpinan" pada tubuh kekuasaan negara
mutakhir. Tapi hanya untuk memenuhi agenda lima tahunan. Itulah skenario ini,
dengan mengacu pada gambaran awal, akan Pemilu tahun 2014 yang akan datang.
Melalui instrumen sistem
penyelenggaraan Pemilu, konstelasi politik nasional menjelang, selama, dan
sesudah Pemilu tahun 2014 akan berubah. Sistem ini memuat ketentuan sistem
Pemilu, alokasi kursi, daerah pemilihan dan besaran daerah pemilihan, penentuan
perolehan suara, dan ketentuan ambang batas minimum parlemen (parliamentary
threshold). Semua instrumen tersebut akan menggerakkan motor sirkulasi
kepemimpinan nasional ke depan.
Namun dengan "bahan
mentah" yang tak berubah sebagaimana kondisi pra-Pemilu sebelumnya, yang
diakui banyak pihak "masih seperti ini", lalu mendorong penilaian
pesimisme orang terhadap keadaan. Bahan mentah yang saya maksudkan adalah
materi dari aktor-aktor politik yang bermain dalam jagat politik nasional.
Apabila kondisi masih tak berubah (ceteris paribus) sementara sistem juga tak
berubah dan dengan ditopang materi pemain yang sama, maka gampang ditebak,
hasil-hasilnya pun masih akan sama (garbage in garbage out). Para pelaku dari
badan kekuasaan negara baik dalam lingkup suprastruktur politik dan
infrastruktur politik masih setali tiga uang, dengan topangan sistem
penyelenggaraan Pemilu yang setali tiga uang dengan Pemilu sebelumnya, lalu
rumusan pernyataannya adalah bahwa "kondisi politik kita masih akan
berjalan di tempat". Tak banyak yang bisa diharapkan.
Kesimpulan
Pilihan skenario
Pilihan skenario
Ketiga skenario gambaran
Pemilu 2014 di atas tak bisa dijadikan pegangan. Optimisme dan pesimisme
memiliki logikanya sendiri. Tergantung dari bagaimana kita mempersepsikannya.
Nilai guna dari sebuah skenario adalah bak pisau "bermata ganda". Di
satu sisi kita bersiap diri untuk sewaktu-waktu bila pesimisme yang terjadi. Di
sisi lain kita bisa mengubah gambaran sebagaimana yang diskenariokan tersesbut.
Karena dalam sebuah skenario selalu menyertakan faktor kunci pendorong (driven
force), yang bisa dimainkan, sehingga kondisi seperti yang diinginkan. Mungkin
skenario pertama yang terjadi. Namun apabila skenario kedua dan ketiga yang
terjadi, maka paling tidak kita harus memperbaiki driven force dimaksud. Dalam
hal ini instrumen Pemilu yang ditingkatkan kualitasnya, sementara bagi partai
poltik memperbaiki mekanisme internalnya demi menyajikan para caleg yang
memiliki nilai kualitas tinggi. Mengingat sistem penyelenggaraan Pemilu sudah
ditetapkan DPR RI tempo hari, artinya sudah tak bisa diubah lagi kecuali
melalui mekanisme uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), maka yang perlu
dilakukan sekarang adalah peran kepemimpinan di dalam tubuh partai politik.
Bukankah kita tahu bahwa salah satu kunci pemajuan ada pada kesepakatan yang
dihasilkan dalam keputusan rapat partai politik, sekaligus faktor preferensi
ketua umum parpol, maka dua kunci itu yang bisa digunakan untuk kemajuan dan
pemajuan keadaan ke depannya.
Dengan demikian
sejatinya faktor pendorong pemajuan perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan
kita, adalah pemilik saham terbesar dari partai politik yang dikelolanya.
Siapakah mereka? Tergantung tata kelola di masing-masing parpol. Mereka adalah
sosok yang paling berpengaruh (influencer), sekaligus menentukan hitam-putihnya
parpol dimaksud. Bisa disebut "ketua umum, ada pula yang disebut
"ketua dewan pembina", atau "dewan syuro" dan seterusnya.
Sumber :